Aku akan
bercerita pada kalian. Bercerita tentang sebuah jembatan. Namanya adalah
Jembatan Tak Kembali. Mengapa diberi nama demikian? Karena, setiap yang
menyeberang di jembatan itu, tak akan kembali. Disergap oleh batas yang ada di
seberang sana. Seberang yang berkabut. Dan berisi kesempurnaan.
Dan sebagai
jembatan, maka Jembatan Tak Kembali adalah jembatan yang begitu indah.
Kerangkanya berwarna merah. Punggungnya kuning keemasan. Sedangkan pagar
pembatas samping kiri-kanannya seakan-akan selalu berputar pelan. Seperti
berputarnya jarum jam yang bunyinya begitu halus. Deg-deg-deg surrr.
Tapi, meski
tak kembali, selalu saja, hampir tiap saat ada yang menyeberangi jembatan itu.
Dan si penyeberangnya berasal dari sekian kalangan yang berbeda. Baik berbeda
umur, status, atau kepandaian. Dan rata-rata, mereka selalu menampakkan wajah
yang ceria. Penuh harap. Dan gelora.
Bahkan, jika
kalian saksikan, selalu saja ada di antara mereka (yang menyeberang itu)
bernyanyi. Terutama bernyanyi tentang apa-apa yang membuat semua nafsu buruk
memadam. Berganti dengan seribu genta mungil yang melayang-layang. Genta mungil
yang berdenting. Seperti denting sebaris mantra. Mantra tentang sorga yang
dicinta. Sorga yang ketemu lagi.
Dan sorga
yang akan membuat mereka mencapai tingkat yang tiada tara. Tingkat, di mana,
apa yang mereka sandang akan menjadi sempurna. Dan menjadi sesuatu yang menurut
kabar yang ada, mencapai titik yang tak terjabarkan lagi. Misalnya, yang pintar
masak, akan dapat memasak tanpa kompor. Yang pintar silat, akan bersilat tanpa
bergerak. Dan yang pintar berlari, akan berlari tanpa mengenal tenaga.
”Hoi,
berilah kami kelancaran untuk menyeberang!”
”Hoi, juga
kelancaran agar tak terperosok!”
”Hoi, juga
keteguhan diri!”
Tentu saja,
meski mereka menyebut: ”Hoi!,” tapi nada suara mereka bukanlah nada yang
memaksa. Sebaliknya, penuh ketulusan dan kerendahan hati. Ibarat sebuah lautan
yang biru dan dalam, betapa, betapa tenangnya nada suara mereka. Dan ibarat
gunung yang menjulang, betapa, betapa, sampainya puncak gunung itu ke langit
lapis ketujuh.
Langit yang
di semua sisinya begitu meluas dan makin meluas. Seperti tak ada lagi makhluk
yang sanggup mengukurnya. Meski itu cuma di dalam pikiran dan khayalan. Pikiran
dan khayalan yang sanggup untuk menulis sekian ribu halaman buku. Buku yang
berisi tentang semua pengetahuan yang pernah ditemukan dan yang akan ditemukan.
”Ayo, kita
menyeberang. Sampai jumpa ya!”
”Yup, kita
menyeberang bersama-sama!”
”Siap! Ayo
berangkat!”
Dan mereka
(yang menyeberang itu) pun menyeberanglah. Dan rasanya, ketika kaki mereka
menjejak di punggung jembatan, pun menjelma semacam langkah-langkah sebuah
tarian. Langkah-langkah yang gemulai. Ke kiri, ke kanan. Indah dan memesona.
Mungkin, jika saja langkah-langkah itu berada di atas panggung, tentu akan
menjadi sebuah pertunjukan yang serasi, kompak, dan menggetarkan.
Sedangkan
bagi yang melihatnya. Yang berada di pingir-pinggir, dan yang tak ikut
menyeberang, cuma bisa melambai. Sambil tetap mengarahkan pandangannya tanpa
berkedip. Di hati mereka, pun penuh dengan doa. Doa yang bermuara pada satu
harap: ”Cepat atau lambat, kami segera juga menyeberang. Menyusul mereka.
Menyusul untuk mencapai kesempurnaan. Tunggu saja.”
***
Hmm, itulah
ceritaku tentang Jembatan Tak Kembali. Sebuah cerita yang penuh teka-teki.
Kenapa? Karena aku yakin, kalian pasti akan bertanya: ”Jika mereka yang
menyeberang itu telah sampai di seberang jembatan. Di tempat yang berkabut dan
berisi kesempurnaan, lalu apa yang dilakukannya? Apakah mereka menjadi puas?
Atau ada hal lain yang perlu untuk juga diceritakan di sini?”
Ahai,
pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang memang aku nanti. Dan jujur saja,
ternyata, ketika telah sampai di seberang, dan memperoleh kesempurnaan yang diharapkannya
itu, mereka memang menjadi lain. Apa yang mereka sandang telah mencapai pada
titik yang tiada tara. Tak terjabarkan. Semuanya hanya tinggal dipinta dan
diucapkan. Langsung tersedia. Dan langsung bisa untuk direngkuh.
”Aku ingin
berlari ke bukit!” maka sampailah mereka ke bukit. Atau ”Aku ingin merasakan
masakan paling nikmat!” pun langsung tersedia. Dan itu membuat mereka bahagia.
Dan membuat mereka untuk terus-terusan mengucapkan ini-itu yang beragam.
Ini-itu yang membuat mereka cuma berada di tempat. Tak bergerak. Sebab, buat
apa mesti bergerak, jika apa yang diinginkan selalu tersedia di hadapan.
Tersedia dalam aneka ragam yang dapat disesuaikan.
Jadinya,
karena kelamaan tak bergerak, pelan-pelan mereka pun menjadi terdiam. Hanya
mata mereka saja yang kedap-kedip. Mata yang begitu sempurna dan layak untuk
disebut sebagai mata yang bulat, bundar, dan penuh ketenangan. Mata yang kini
tampak tak lagi memikirkan bagaimana cara mengasah apa yang disandangnya.
Ya, mereka
kini bukan lagi sebagai pengejar dari apa yang mesti dikejar. Sebaliknya,
mereka jadi sebagai si pendiam. Si pendiam yang tak lagi menginginkan apa-apa.
Sebab, apa yang mesti diinginkan, jika semuanya begitu mudah untuk terwujud dan
tercapai? Dan begitu mudah untuk dibentuk hanya dengan sebuah ucapan? Dan
rasa-rasanya, tanpa mereka sadari tubuh mereka pun mulai mengeluarkan serabut.
Serabut
halus. Serabut yang entah apa warnanya. Tapi begitu berkilau. Dan begitu
menerangi tempat di mana mereka berada. Dan saking terangnya, apa-apa yang
bergeriapan di sekeliling mereka pun terlihat. Apakah itu yang terbang,
merayap, berguling, atau hanya sekadar terpaku tak bergerak. Semuanya terlihat.
Dan semuanya seakan-akan memang begitu bahagia hanya untuk dapat terlihat.
***
”Akh, aku
tak jadi menyeberang deh!”
”Loh?”
”Iya. Jika
akhirnya cuma seperti itu, terus buat apa.”
Ya, ya, itu
adalah perkataan Jose di pagi ini. Perkataan yang mungkin kesekian kalinya. Dan
memang perlu kalian ketahui, Jose adalah satu-satunya orang yang kerap
membatalkan niatnya ketika akan menyeberangi jembatan.
Padahal,
jika boleh aku bercerita pada kalian, semua yang ada di diri Jose sudah
mumpuni. Dan layak untuk mencapai kesempurnaan. Lain itu, barangkali, hanya
Jose-lah yang telah digadang-gadang oleh semua orang untuk segera menyeberang.
”Tapi, siapa
nanti yang akan memberi makan kucing-kucingku?” sergah Jose.
Kucing?
Astaga, inilah alasan sejak dulu yang mengganjal diri Jose untuk menyeberang.
Alasan untuk memberi makan kucing-kucingnya. Dan kini, kucing-kucing Jose tidak
lagi lima atau enam ekor. Tapi mungkin hampir lima puluh ekor. Dan setiap pagi,
siang, dan sore selalu diberinya makan.
”Kucing-kucingku
butuh makanan yang layak?” begitu tambah Jose, ”Sebab kucing-kucingku itu
hampir tiap malam mengejari tikus-tikus. Tikus-tikus yang gemar merusak setiap
apa yang ada di kampung. Dan kalian tahu jugakan, tikus-tikus yang merusak itu,
kini semakin banyak. Gemuk-gemuk. Dan ngawur-ngawur. Bahkan, saking ngawurnya,
di siang bolong pun berani merusak juga. Seperti sudah tak ada lagi yang
ditakuti.”
”Terus,
kapan kau akan jadi sempurna?” tanya seseorang.
”Aduh,
biarlah tak jadi sempurna. Asalkan kucing-kucingku masih dapat aku urus.”
Dan seperti
yang sudah-sudah, Jose pun kembali meninggalkan pinggir Jembatan Tak Kembali.
Semua orang memandangnya. Semua orang melongo. Dan seperti pendekar dari dunia
antaberantah, kucing-kucingnya pun mengintil. Kucing-kucing yang lucu.
Kucing-kucing yang tangkas. Dan kucing-kucing yang membuat orang yang
melihatnya jadi gemas.
Bagaimana
tidak gemas, kucing-kucing itulah yang kerap mengganggu mereka ketika sedang
makan. Atau sedang enak-enak tidur. Sebab, tingkah laku dan suara ngeongnya
demikian keras dan memekak. Apalagi jika sudah memasuki musim kawin. Ck ck ck
kampung pun seakan-akan berubah menjadi panggung simponi yang ribut. Simponi
yang sering membuat genting-genting bergeser.
Jose, Jose,
ya, itulah nama orang yang tak mau menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Jembatan
untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya karena tak mau meninggalkan kucing-kucingnya.
Dan karena ketakmauannya itulah, banyak orang di kampung yang membicarakannya.
Ada yang bangga. Ada yang cuek. Dan ada pula yang diam-diam menyebut Jose
sebagai si aneh.
Si aneh yang
lebih suka memberi makan kucing-kucingnya daripada mengejar kesempurnaan
hidupnya. Dan mereka yang diam-diam menyebut Jose sebagai si aneh ini, semakin
lama, semakin bertambah. Dan siasat pun mulai mereka gariskan. Yaitu, bagaimana
caranya agar kucing-kucing Jose dapat berkurang.
Mulailah
mereka mencuri kucing-kucing Jose. Yang kuning. Yang coklat. Yang hitam. Yang
putih. Dan yang kelabu pun dicurinya. Dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke
luar kampung. Sampai akhirnya, kucing-kucing Jose habis. Dan Jose pun
kelimpungan. Dan Jose pun menjadi sedih. Setiap waktu, setiap saat, kerjanya
cuma mencari kucing-kucingnya yang hilang.
Dan di
antara rasa sedih dan mencari inilah, mereka yang telah mencuri kucing-kucing
itu, berkata pada Jose: ”Jose, percayalah, kucing-kucingmu itu telah
menyeberangi Jembatan Tak Kembali. Menyeberangi secara diam-diam.” Tapi
anehnya, sejak perkataan ini terlontar, sejak itu pula sosok Jembatan Tak
Kembali pun jadi menghilang. Tak berjejak. Seperti ditelan kegaiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar